You are here
PMBPI UNY AMBIL PERAN DALAM KOLABORASI INDONESIA-AUSTRALIA DALAM ATASI BENCANA PERUBAHAN IKLIM MELALUI KNOWLEDGE AND INNOVATION EXCHANGE
Primary tabs

Kepala Pusat Mitigasi dan Perubahan Iklim Universitas Negeri Yogyakarta (PMBPI UNY) , Prof. Dr. Tien Aminatun, M.Si diundang sebagai Pembicara di Knowledge and Innovation Exchange (KIE) yang diselenggarakan oleh Knowledge Partnership Programme (KONEKSI) pada tanggal 19-20 November di The Alana Yogyakarta Hotel & Convention Center, Jl. Palagan Tentara Pelajar No. KM 7, Mudal, Sariharjo, Kec. Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. KONEKSI adalah sebuah inisiatif kolaboratif di sektor pengetahuan dan inovasi Australia-Indonesia. Acara ini bertujuan untuk menyebarluaskan hasil dari 38 proyek penelitian bertema Lingkungan dan Perubahan Iklim (ECC- Environment and Climate Change) kepada para pemangku kepentingan, baik kepada masyarakat luas, pemerintah daerah perwakilan dari seluruh Indonesia maupun akademisi.
KONEKSI memperkuat penyebaran pengetahuan ini melalui kegiatan Knowledge and Innovation Exchange (KIE). Makassar dan Yogyakarta merupakan dua lokasi roadshow yang menjadi wadah interaktif untuk bertukar pengetahuan dari hasil kolaborasi riset serta menampilkan berbagai solusi yang dikembangkan. Kegiatan roadshow ini memberikan peluang strategis bagi KONEKSI untuk melibatkan para pemangku kepentingan di tingkat lokal, tempat penelitian dilakukan, dan dampaknya bisa langsung dirasakan. KONEKSI menyoroti proyek-proyek yang mengatasi tantangan khusus wilayah dan dirancang untuk diadopsi atau ditingkatkan oleh pemerintah setempat. Untuk mendukung hal ini, perwakilan dari lembaga-lembaga yang sudah berkolaborasi dengan konsorsium penelitian berpartisipasi sebagai pembicara panel atau pembahas, untuk membantu menciptakan alur yang lebih kuat untuk penerapan kebijakan lokal. Perwakilan industri dan masyarakat sipil juga diundang untuk memastikan kesadaran yang lebih luas terhadap proyek penelitian dan mendorong pemanfaatan hasil yang lebih luas.
Roadshow Knowledge and Innovation Exchange (KIE) di Yogyakarta mengusung tema “Innovating for Climate Action and Sustainable Growth” (Inovasi untuk Aksi Iklim dan Pertumbuhan Berkelanjutan), dengan fokus “Harnessing research, policy, and innovative solutions to strengthen climate resilience and community-based growth” (Memanfaatkan riset, kebijakan, dan solusi inovatif untuk memperkuat ketahanan iklim dan pertumbuhan berbasis komunitas).
Sebagai pusat pendidikan, kebudayaan, dan pertukaran pengetahuan, Yogyakarta menggambarkan bagaimana kolaborasi antara lembaga riset, pemerintah, dan masyarakat dapat mendorong aksi iklim sekaligus mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Roadshow ini dapat mengeksplorasi sinergi antara inovasi, solusi kebijakan, dan riset berbasis bukti untuk membangun ketahanan serta memajukan pertumbuhan yang digerakkan oleh komunitas. Kegiatan ini menampilkan pidato kunci dari perwakilan Kedutaan Besar Australia di Indonesia, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta atau yang mewakili, serta salah satu perwakilan mitra KONEKSI dari pemerintah Indonesia (Bappenas, Kemdiktisaintek, atau BRIN), yang telah memberikan konteks dan wawasan berharga terkait tema acara. Kegiatan ini menjadi platform penting bagi para peneliti, pembuat kebijakan, dan mitra pembangunan dari kedua negara untuk berkolaborasi dan berbagi pengetahuan.
KIE ini mempertemukan beragam kelompok peserta untuk memastikan keterlibatan yang luas serta memaksimalkan pemanfaatan dan penyebarluasan hasil riset. Acara ini dihadiri oleh sekitar 200 peserta, diantaranya:
- Mitra riset KONEKSI, termasuk anggota konsorsium riset dan institusi yang berafiliasi.
- Perwakilan pemerintah di tingkat lokal dan nasional. Beberapa pejabat diundang untuk menghadiri seluruh rangkaian kegiatan (roadshow dan summit), sementara yang lain berpartisipasi dalam sesi yang relevan dengan bidang tugas mereka.
- Organisasi masyarakat sipil, khususnya yang berbasis di komunitas lokal atau bekerja untuk melayani masyarakat serta menangani isu-isu tematik yang relevan.
- Perwakilan media lokal, untuk mendukung penyebarluasan hasil riset dan capaian kegiatan secara lebih luas.
- Akademisi dari universitas lokal, guna memperkuat pertukaran pengetahuan di tingkat regional.
- Jaringan KONEKSI, termasuk pegiat inklusi disabilitas, pemimpin muda, dan peneliti dari wilayah Indonesia bagian barat, untuk memastikan keberagaman suara dan perspektif terwakili.
- Akademisi dan pakar dari Australia, untuk memberikan pandangan serta memperkaya diskusi dari perspektif Australia di luar lingkup mitra KONEKSI.
- Perwakilan dari program-program lain yang didukung oleh DFAT (Department of Foreign Affairs and Trade Australia), untuk mendorong sinergi dan kolaborasi lintas program.
Prof. Dr. Tien Aminatun selaku Kepala PMBPI UNY yang berbicara dalam sesi berjudul Knowledge-to-Policy Exchange 2: Designing Climate-Ready Infrastructure for Sustainable Futures dengan kasus pada bencana banjir, menyampaikan bahwa infrastruktur mitigasi bencana banjir itu harus dirancang dengan memperhatikan kepentingan masyarakat marjinal atau rentan. Mereka perlu dilibatkan dalam perencanaan. Ketika perencanaan infrastruktur mitigasi bencana banjir hanya menggunakan pendekatan teknis tanpa mempertimbangkan kerentanan sosial, beberapa konsekuensi negatif yang signifikan dapat terjadi, yaitu:
- Peningkatan kerentanan bagi kelompok rentan: Kelompok yang secara sosial (misalnya, masyarakat berpenghasilan rendah, lansia, atau penyandang disabilitas) yang sudah rentan akan semakin terpukul. Mereka mungkin tidak memiliki sumber daya finansial untuk membangun rumah yang lebih kuat, pindah ke daerah yang lebih aman, atau pulih dengan cepat setelah banjir.
- Ketidakadilan dalam distribusi manfaat dan risiko: Solusi teknis (seperti pembangunan tanggul besar) mungkin melindungi satu area (seringkali area yang lebih makmur) tetapi mengalihkan aliran air dan meningkatkan risiko banjir ke area lain, yang seringkali merupakan pemukiman masyarakat miskin atau terpinggirkan. Contoh lain, reklamasi pantai, menyelamatkan daerah yang rawan abrasi tetapi memindahkan bencana abrasi itu ke kawasan lain yang ternyata kawasan permukiman nelayan miskin
- Ketidakefektifan solusi jangka panjang: Infrastruktur teknis mungkin tidak efektif dalam jangka panjang jika masyarakat tidak dilibatkan dalam pemeliharaan atau jika solusi tersebut tidak disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Misalnya, masyarakat mungkin tidak menggunakan atau memelihara sistem drainase jika tidak merasa memiliki solusi tersebut.
- Rendahnya kapasitas adaptif masyarakat: Mengabaikan aspek sosial berarti mengabaikan pengetahuan lokal dan kapasitas masyarakat untuk beradaptasi. Akibatnya, masyarakat menjadi kurang siap dan kurang tangguh dalam menghadapi bencana, meskipun ada infrastruktur fisik.
- Penolakan dan konflik sosial: Proyek infrastruktur yang dipaksakan tanpa konsultasi atau pertimbangan kebutuhan masyarakat lokal dapat memicu penolakan, protes, dan konflik sosial, yang menghambat implementasi dan efektivitas proyek secara keseluruhan.
- Kerugian ekonomi yang tidak merata: Meskipun infrastruktur dapat mengurangi kerugian ekonomi secara keseluruhan, kerugian yang dialami oleh individu atau kelompok tertentu (misalnya, petani kecil yang lahannya tergenang akibat perubahan pola aliran air) bisa sangat besar dan tidak mendapat kompensasi yang adil.
Secara keseluruhan, pendekatan teknis murni cenderung menghasilkan solusi yang tidak holistik, tidak adil, dan berpotensi gagal dalam mencapai tujuan manajemen risiko banjir yang efektif dan berkelanjutan. Pendekatan yang lebih komprehensif, yang mengintegrasikan aspek teknis dan kerentanan sosial, sangat penting untuk memahami seluruh dampak bencana dan menerapkan manajemen risiko.
Selanjutnya, Prof. Dr. Tien Aminatun menyampaikan beberapa contoh program/ kegiatan yang telah dilakukan di wilayah Yogyakarta terkait pelibatan masyarakat rentan dalam mitigasi bencana banjir, yaitu antara lain:
- Kebijakan simulasi kedaruratan bencana untuk masyarakat rentan, terutama di permukiman masyarakat dengan pendapatan rendah (seperti di daerah bantaran sungai), di Yogyakarta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sudah melakukan rutin setiap tahun
- Pendekatan pendidikan, karena pendidikan menjadi kunci dan menjadi aspek penting, yaitu dengan membangun pengetahuan ekologi masyarakat, membentuk komunitas tangguh bencana (di sekolah dan kampung), dengan menyusun modul dan panduan untuk melatih prosedur evakuasi dan bagaimana berkoordinasi dengan instansi terkait / BPBD, melatih sikap waspada bencana, serta melatih prosedur bagaimana evakuasi mandiri untuk masyarakat rentan (disabilitas, orang sakit, orang tua, ibu hamil dan anak-anak)
- Keterlibatan masyarakat lokal dan masyarakat marjinal dengan menghargai budaya dan kearifan lokal, seperti budaya “merti Sungai”, budaya muka rumah menghadap ke sungai sehingga ada budaya “rikuh” atau tidak nyaman jika membuang sampah di sungai dan menyebabkan sungainya kotor.
Akhirnya, dengan berperan dalam kegiatan KONEKSI ini, PMBPI UNY diharapkan dapat terus terlibat dalam mendorong kemitraan yang lebih kuat antara akademisi Indonesia dan Australia dalam pengelolaan lingkungan, khususnya pengelolaan risiko dan mitigasi bencana.
Contact Us
Copyright © 2025,